RSS

Tari Sebagai Ritual


BAB I
PENDAHULUAN

I.1   Latar Belakang Masalah
Kraus memilahkan fungsi tari ke dalam 10 kelompok yaitu (1) tari sebagai suatu bentuk penguat sosial, seuatu cara mengungkapkan kesetiaan dan kekuatan nasional atau suku; (20 tari merupakan suatu cara pemujaan yang berkaitan dengan religi, sebagai suatu bentuk ritual dan cara langsung berkomunikasi dengan dewa-dewa; (3) tari adalah suatu bentuk seni, salah satu jalan ke luar pengekspresian diri serta kreativitas pribadi; di antara berbagai cabang utawma warisan budaya, tari mungkin menjadi sumber karya-karya besar yang diselenggarakan sebagai bagian dari tradisi yang terus berlanjut, atau dasar untuk kelanjutan eksperimentasi artistic; (4) tari mungkin juga menjadi satu bentuk hiburan popular, menarik bagi penonton pada umumnya dari pada saat ia dihidangkan sebagai suatu bentuk tari dengan level estetis yang tinggi; (5) tari mungkin juga dibawakan sebagai suatu cara mengungkapkan kegembiraan yang luar biasa melalui fisik, kekuatan, dan ketrampilan; (6) tari menawarkan jalan ke luar yang penting untuk pergaulan dan hiburan, baik pergaulan maupun hiburan keduanya merupakan suatu cara untuk menyegarakan fisik, alas an-alasan menari itu menyangkut fungsi tertentu. Tari, dikatakannya menjalankan dan berada dalam deretqan fungsi seperti; (1) inisiasi pubertas; (2) percintaan; (3) persahabatan; (4) perkawinan; (5) peristiwa yang bersangkut-paut dengan pekerjaan; (6) upacara yang berhubungan dengan kesurubah tanaman; (7) tarian perbintangan; (8) perburuan; (9) menirukan binatang; (10) menirukan perang; (11) pengobatan; (12) kematian; (13) peralihan tingkat hidup; (14) tari badut atau lawak (Gertrude Kurath, dalam Any Person Rocyce, 1977; 79; seperti dikutip Soedarsoni dari I Made Bandem, 1985: 18) (5)
Beragam upacara yang dilaksanakan dengan menyertakan tari di dalamnya terlihat mengarah pada 4 pemilihan berdasarkan atas tujuannya, masing-masing ialah:
1)   upacara yang ditujukan untuk penyembahan terhadap roh nenek moyang: upacara berkenaan dengan peristiwa dalam daur kehidupan, upacara dengan harapan tertentu, upacara yang diselenggarakan untuk pergaulan. Untuk penemuan penerimaan sosial dalam partisipasi kelompok tari menyediakan media atau merupakan suatu wahana pergaulan, serta menjanjikan daya tarik bagi pria dan wanita;
2)   tari berguna sebagai suatu alat pendidikan, dengan peerngertian bahwa tari diajarkan untuk mencapai maksud-maksud khusus dalam masyarakat tertentu, seperti halnya seni musik, atau teater diajakan sebagai bentuk-bentuk kebudayaan.;
3)   tari merupakan suatu pekerjaan, ia bisa menjadi sarana mencari nafkah untuk para penarinya maupun para guru tarinya;
4)   akhirnya, tari diselenggarakan sebagai terapil untuk beberapa hal ia banyak disajikan sebagai suatu bentuk dai pengenduran dan rehabilitas fisik dan emnosi; ia disiapkan bersama dengan terapi-terapi lainya di beberapa pusat perawatan.
Pertautan antara tari dengan upacara mendapat perhatian serta disetujui pula oleh Anthony Shay yaitu salah seorang peneliti yang juga mencermati lapangan tari, Shay (1971) membedakan fungsi tari ke dalam 6 kategori, masing-masing ialah (1) tari sebagai refleksi dan pengesahan organisasi sosisl; (2) tari sebagai wadah ekspresi skuler maupun ritus religi; (3) tari merupakan hiburan sosisal atau aktivias yang berkaitan dengan hiburan; (4) tari menjadi alat atau jalan ke luar dan penendoran psikologis; (5) tari sebagai reflesksi nilai-nilai estetis atau sebagai aktivitas estetis itu sendiri; (6) tari merupakan refleksi dari pola-pola ekonomi sebagai sarana untuk mencarai nafkah, atau merupakan aktivias ekonomi itu (Anthony Shay, dalam Any Peterson Royce 1977: 79).
I.2   Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan


BAB II
SENI TARI SEBAGAI RITUAL

Fungsi-fungsi  ritual  seni  pertunjukan  di  Indonesia  banyak  berkembang dikalangan  masyarakat  yang dalam tata kehidupannya  masih  mengaku  pada  nilai-nilai  budaya  agraris,  serta masyarakat yang  memeluk  agama  yang  dalam  kegiatan-kegiatan  ibadahnya sangat  melibatkan  seni  pertunjukan,  seperti  misalnya  masyarakat  Bali  yang beragama Hindu Dharma. Seni pertunjukan ritual memiliki ciri-ciri khas, yaitu: (a) diperlukan  tempat pertunjukan yang terpilih, yang biasanya dianggap sakral; (b) diperlukan  pemilihan  hari  serta  saat  yang  terpilih  yang  biasanya juga dianggap sakral; (c) diperlukan pemain yang terpilih, biasanya mereka yang dianggap suci atau yang telah membersihkan diri secara spiritual; (d) diperlukan seperangkat sesaji yang kadang-kadang sangat banyak jenis dan macamnya; (e) tujuan lebih dipentingkan daripada penampilan secara estetis; dan (f) diperlukan busana yang khas.
Di Indonesia sendiri banyak sekali macam-macam pertunjukkan seni tari yang berfungsi sebagai ritual ini:

1.      TARI REJANG DAN BARIS
a.       Tari Baris
Tari Baris menurut Babad Bali merupakan tarian pasukan perang. "Baris" yang berasal dari kata bebaris yang dapat diartikan pasukan maka tarian ini menggambarkan ketangkasan pasukan prajurit. Tari ini merupakan tarian kelompok yang dibawakan oleh pria, umumnya ditarikan oleh 8 sampai lebih dari 40 penari dengan gerakan yang lincah cukup kokoh, lugas dan dinamis, dengan diiringi Gong Kebyar dan Gong Gede.
Tari-tarian Baris yang masih ada di Bali :
1.      Baris Katekok Jago
Baris yang membawa senjata tombak poleng (tombak yang tangkainya berwarna hitam dan putih) dan berbusana loreng hitam putih ditarikan dalam upacara Pitra Yadnya (Ngaben). Umumnya ada di daerah Badung dan Kodya Denpasar. Sedang tarian Baris sejenis di Buleleng disebut Baris Bedug dan di Gianyar disebut Baris Poleng.
2.      Baris Tumbak
Baris yang membawa senjata tombak dan berbusana awiran berlapis - lapis ditarikan dalam upacara Dewa Yadnya, banyak dijumpai di daerah Badung, Bangli dan Gianyar.
3.      Baris Dadap
Baris yang membawa senjata dapdap (semacam perisai), gerakannya lebih lembut dari jenis-jenis tari Baris lainnya dan penarinya menari sambil menyayikan tembang berlaras slendro dengan diiringi gamelan Angklung yang juga berlaras slendro dan ditarikan dalam upacara Dewa Yanya kecuali di daerah Tabanan ditarikan dalam upacara Pitra Yadnya, banyak dijumpai didaerah Bangli, Buleleng, Gianyar dan Tabanan.
4.      Baris Presi
Para penari baris ini membawa senjata keris, dan sejenis perisai yang dinamakan presi. Diadakan dalam kaitannya dengan upacara Dewa Yadnya. Banyak dijumpai di daerah Bangli dan Buleleng.
5.      Baris Pendet
Tari baris yang para penarinya tampil tanpa membawa senjata perang melainkan sesaji (canang sari), ditarikan dalam upacara Dewa Yadnya. Di desa Tanjung Bungkak (Denpasar) penari baris ini membawa canang yang disebut canang oyod dan pada bagian akhir tariannya, para penari menari menggunakan kipas sambil "ma-aras-arasan" atau bersuka ria.
6.      Baris Bajra
Baris yang membawa senjata gada dengan ujungnya berbentuk bajra (seperti gada Bhima) dan ditarikan dalam upacara Dewa Yadnya serta dapat dijumpai di daerah Bangli dan Buleleng.
7.      Baris Tamiang
Baris yang membawa senjata keris dan perisai yang dinamakan Tamiang, dapat dijumpai di daerah Badung.
8.      Baris Kupu-Kupu
Sesuai dengan temanya, tari Baris ini melukiskan kehidupan binatang kupu-kupu dan penarinya mengenakan sayap kupu-kupu, gerakannya lincah dan dinamis menirukan gerak-gerik kupu-kupu. Hingga kini tari ini ada di desa Renon dan Lebah (Denpasar).
9.      Baris Bedil
Baris ini ditarikan oleh beberapa pasang penari yang membawa imitasi senapan berlaras panjang (bedil) terbuat dari kayu, ditampilkan dalam upacara Dewa Yadnya dan terdapat di daerah Klungkung, Bangli dan Badung.
10.  Baris Cina
Tari Baris ini diduga mendapat pengaruh budaya Cina, keunikannya terlihat dari tata busana (celana panjang dengan baju lengan panjang, selempang kain sarung, bertopi, berkacamata hitam serta memakai senjata pedang), geraknya (mengambil gerakan pencak silat), dan iringannya (gamelan Gong Bheri yaitu Gong tanpa moncol). Tarian ini menggambarkan pasukan juragan asal tanah Jawa yang datang ke Bali. Tarian ini ditampilkan dalam upacara Dewa Yadnya dan terdapat di desa Renon dan Belanjong, Sanur (Denpasar).
11.  Baris Cendekan
Baris ini ditarikan oleh beberapa pasang penari yang membawa senjata tombak yang pendek (cendek), ditampilkan dalam upacara Dewa Yadnya. 
12.  Baris Panah
Baris ini ditarikan oleh beberapa pasang penari yang membawa senjata panah dan ditampilkan dalam upacara Dewa Yadnya, terdapat di daerah Buleleng dan di Bangli.
13.  Baris Jangkang
Baris ini ditarikan oleh penari-penari yang membawa senjata tombak panjang, ditampilkan dalam upacara Dewa Yadnya dan terdapat di daerah Bangli, Gianyar, dan Klungkung (Nusa Penida).
14.  Baris Gayung
Baris ini ditarikan oleh sekelompok penari yang terdiri dari para pemangku dengan membawa gayung atau cantil (alat untuk membawa air suci), ditampilkan dalam upacara Dewa Yadnya dan terdapat di daerah Bangli, Gianyar serta Badung.
15.  Baris Demang
Ditarikan oleh sekelompok penari yang menggambarkan tokoh Demang (salah satu dari tokoh Pagambuhan) dalam drama tari klasik Gambuh dengan senjatanya pedang, tumbak, panah dan lain-lainnya. Tari Baris ini terdapat di daerah Buleleng.
16.  Baris Cerekuak
Tarian yang menggambarkan gerak-gerik sekelompok burung air (cerekuak) ketika mencari kekasihnya, burung manuk dewata. Para penarinya memakai busana babuletan (kain yang dicawatkan sampai di atas lutut) dengan hiasan dari daun- daunan pada sekujur tubuh dan kepala, hanya ditampilkan dalam upacara Pitra Yadnya (Ngaben) dengan Gamelan pengiringnya Batel Gaguntangan. Tarian baris tersebut terdapat di daerah Tabanan.
17.  Baris Mamedi
Tarian ini menggambarkan sekelompok roh halus (mamedi) yang hidup ditempat angker seperti kuburan, para penarinya memakai busana yang terbuat dari dedaunan dan ranting yang diambil dari kuburan. Gamelan pengiring tarinya gamelan Balaganjur. Tarian diselenggarakan dalam rangka upacara Pitra Yadnya (ngaben) dan terdapat di daerah Tabanan.
18.  Baris Ketujeng
Tari ini menggambarkan sekelompok roh halus yang hidup di tempat angker yang dimaksudkan sebagai tari pengantar atman orang yang meninggal menuju sorga, dibawakan oleh sekelompok penari yang mengenakan busana dari dedaunan. Tari baris ini dipertunjukan dalam upacara Pitra Yadnya (Ngaben).
19.  Baris Gowak
Tarian yang melukiskan peperangan antara pasukan Tegal Badeng (Badung) dengan sekelompok burung gagak pembawa kematian, di mana beberapa pasang penarinya memerankan prajurit Tegal Badeng dan yang lainnya sebagai sekelompok burung gagak dengan kostum yang memakai sayap. Tarian ini sangat disucikan oleh masyarakat desa Selulung, Kintamani (Bangli) dan terdapat dalam Upacara Dewa Yadnya.
20.  Baris Omang
Tari Baris yang mempergunakan senjata tombak tetapi gerakannya perlahan-lahan seperti jalannya siput (Omang), menggambarkan pertempuran antara pasukan Tegal Badeng (Badung) dengan pasukan Guwak (burung gagak). Tarian ini sangat disucikan oleh masyarakat Selulung (Kintamani - Bangli, dan terdapat dalam upacara Dewa Yadnya.
21.  Baris Jojor
Tarian baris yang ditarikan sekelompok penari dengan membawa senjata Jojor (tombak bertangkai panjang) terdapat dalam upacara Dewa Yadnya dan ada di daerah Buleleng, Bangli dan Karangasem
22.  Baris Kuning
Merupakan tarian upacara Dewa Yadnya yang ditarikan oleh sekelompok penari pria yang berbusana serba kuning dan bersenjatakan keris dan tamiang (perisai), terdapat di daerah Buleleng.
23.  Baris Tengklong
Tari yang dibawakan oleh sekelompok penari dengan senjata pedang, gerakannya dinamis, perkasa dan mendekati gerakan pencak silat. Khusus ditampilkan dalam upacara di Pura Penambangan Badung, tepatnya di desa Pamedilan Kodya Denpasar.
24.  Baris Kelemet
Tarian ini dibawakan oleh sekelompok penari yang memerankan para nelayan, dengan senjata semacam dayung dan menggambarkan orang naik sampan di laut untuk menangkap ikan, tari ini ada dalam upacara Dewa Yadnya dan terdapat di daerah Badung. 
b.      Tari Rejang
Tari Rejang adalah sebuah tarian putri yang dilakukan secara masal, gerak-gerik tarinya sangat sederhana (polos) yang biasanya ditarikan di Pura Pura pada waktu berlangsungnya suatu upacara. Tarian ini dilakukan dengan penuh rasa hidrat, penuh rasa pengabdian kepada Bhatara Bhatari. Para penarinya mengenakan pakaian upacara, menari dengan berbaris melingkari halaman Pura atau Pelinggih yang kadang kala dilakukan dengan berpegangan tangan. Tari Rejang di beberapa tempat juga disebut dengan Ngeremas atau Sutri.

Jenis-jenis Tari Rejang
Ada Masyarakat Bali mengenal beberapa jenis tari Rajang. Diantara tari Rejang yang ada di Bali, Tari Rejang yang paling umum dikenal masyarakat Bali adalah Rejang Renteng, Rejang Dewa, Rejang Onying, dan Rejang Kuningan. Untuk mengenal jenis-jenis Tari Rejang yang dikenal dalam kehidupan masyarakat bali dapat diuraikan sebagai berikut :
1.      Rejang Renteng
Tari Rejang Renteng ini adalah salah satu jenis Tari Rejang yang ditarikan oleh sekelompok penari-penari wanita. Dimana para penarinya bergerak secara beriring-iringan secara seragam. Keunilan dari tari Rejang ini terlihat dari penarinya, dimana para penari diikat kedalam suatu untaian atau rangkaian yang disebut “renteng” dengan seutas benang yang pada umumnya berwarna putih.
Tari Rejang Renteng memiliki ciri yang khusus, yaitu jempana sebagai linggih Ida Bhatara dituntun dengan benang panjang yang diikatkan pada pinggang si penari.
2.      Rejang Dewa
Tari Rejang Dewa ini adalah salah satu jenis tarian Rejang yang dibawakan oleh sekelompok penari wanita. Di beberapa tempat, terian ini hanya boleh ditarikan oleh para remaja. Dimana setiap orang penari menari dengan membawa semacam boneka dari janur sebagai lambang Dewa-dewi yang diikatkan di sekitar pinggang penari.
Versi lain daripada Rejang Dewa yaitu tarian Rejang yang dibawakan oleh sekelompok penari putri dengan memakai busana putih kuning, setiap orang memakai selendang, dan mengenakan hiasan kepala yang terbuat dari janur dengan dihiasi bunga berwarna-warni. Pada akhir tariannya, para penari bergerak melingkar sambil memegang selendang penari yang ada didepannya.
3.      Rejang Onying
Jika dibandingkan dengan kedua tari Rejang yang sebelumnya, tari Rejang Onying mungkin yang paling keras ungkapan geraknya. Dalam banyak hal, gerak-gerak tari Rejang Onying menyerupai gerak tari Baris yang keras dan patah-patah. Dimana para penari darpada tari Rejang Onying ini pada umumnya dari kalangan wanita dewasa, bahkan dibeberapa tempat tarian ini dibawakan oleh para Pemangku. Keunikan dari tari Rejang Onying ini terlihat pada pemakaian keris terhunus, oleh setiap orang penarinya. Pada akhir tarian, para penari menikamkan keris kedada masing-masing, yang dikenal masyarakat Bali dengan sebutan ngurek.
4.      Rejang Kuningan
Rejang Kuningan adalah sebuah tarian Rejang yang ditarikan hanya pada hari raya Kuningan dari masyarakat Hindu Bali. Tarian yang menggambarkan turunnya para widyadari ini hanya boleh bibawakan oleh penari-penari yang masih gadis. Para penari mengenakan busana adat ke pura dengan hiasan kepala yang dibuat dari janur atau daun enau muda yang dihiasi dengan bunga yang berwarna-warni. Tari ini diduga sudah muncul sejak abad ke- XI dan hingga kini masih tetap dipertahankan oleh masyarakat desa Duda dan Akah, yang terdapat di kabupaten Karangasem. Bedanya, Jika di Desa Duda tarian ini diiringi dengan gambelan Gong Kebyar, sedangkan di desa Akah tarian ini diiringi dengan gambelan Gambang (Parwati 1986;Mulyati 1982)

Selain dari ke empat Tari Rejang tersebut diatas, ada beberapa tari Rejang yang terdapat dibeberapa daerah atau desa yang ada di Bali, misalnya di Desa Tenganan terdapat Tarian Rejang yang pementasannya dikaitkan dengan upacara Aci Kasa. Tarian ini dibawakan oleh para Remaja (Deha) dengan mengenakan pakaian khas Rejang yang terdiri dari kain gringsing (Tenganan) dan bunga-bunga emas. Adapun gambelan pengiring tari Rejang ini adalah gambelan Selonding.
Di Batuan, Sukawati dan sekitarnya, tari Rejang juga dikenal dengan sebutan tari Sutri. Tarian ini biasanya dilakukan menjelang waktu persembahyangan,tari ini ditarikan ketika Pendeta atau Pemangku menghaturkan puja mantra dan sesaji-sesaji lainnya.
Di desa batuan, tari Rejang dianggap mempunyai suatu kekuatan yang dapat melingdungi warga masyarakat setempat dari marabahaya. Oleh sebab itu, tradisi Ngerejang atau mementaskan tari rejang ini masih tetap dipertahankan oleh warga desa adat setempat. Pada bulan-bulan tertentu, dijaba pura desa Adat Batuan, dipentaskan tari Rejang yang dibawakan oleh kaum wanita dari banjar-banjar di lingkungan desa adat Batuan secara bergiliran. Kadangkala penarinya hanya memakai busana sederhana dan pada hari-hari tertentu mereka berpakaian adat bali madya.
Di kabupaten Tabanan ada tari Rejang Tabuh, Rejang Baris , dan Rejang Ayunan yang terlihat agak unik jika dibandingkan dengan tarian Rejang yang telah disebutkan di atas.
-          Tari Rejang Tabuh yang terdapat di desa Penebel, kabupaten Tabanan adalah terian upacara Dewa Yadnya yang ditarikan sekelompok penari wanita dimana sepenjang pertunjukan para penarinya bergerak sambil menyanyikan tembang atau Nembang. Dimana penarinya mengenakan busana adat kepura dengan selendang panjang dan setiap orang penari membawa kipas. Selanjutnya
-          Tari Rejang Baris yaitu tarian upacara Dewa Yadnya yang ditarikan oleh gabungan penari pria dan wanita yang masih remaja. Disini para penari tidak memakai tata busana khusus melainkan busana adat ke pura (Ratnawati 1986). Dan terakhir yaitu
-          Tari Rejang Ayunan yang terdapat di desa Pupuan adalah satu-satunya tarian yang ditarikan oleh penari laki-laki yang masih remaja. Para penari memakai pakaian adat kepura yang serba putih. Dimana di akhir tariannya para pemain bermain ayunan untuk merebut makanan dan hadiah-hadiah lainnya yang disembunyikan di atas pohon dimana ayunan digantungkan (Suastri 1985).

2.      WAYANG WONG
Wayang wong adalah nama sebuah tari yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia. Di Bali, wayang wong merupakan drama tari topeng yang menggunakan dialog bahsa Kawi yang selalu menampilakan wiracarita Ramayana. Di Jawa, istilah ini dipergunakan untuk menyebut pertunjukan drama tari berdialog Jawa prosa yang biasanya membawakan lakon-lakon dari wiracarita Mahabrata atau Ramayana yang dicipta oleh Adipati MAngku Negara I pada akhir tahun 1750-an. Di Daerah Istimewa Yogyakarta pernah dikembangkan pula dengan baik sebuah drama tari berdialog bahasa Jawa prosa yang juga bernama wayang wong. Di Jawa Barat pernah berkembang pula sebuah tontonan berbentuk drama tari berdialog bahasa Sunda prosa yang disebut  wayang wong/.
Wayang wong merupakan pertunjukan drama tari yang sudah sangat tua, dapat dibuktikan dengan adanya prasasti Jawa Kuna yaitu prasasti Wimalasmara yang berangka tahun 930 Masehi. Ketika pusat kebudayaan berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur diperkirakan bahwa para seniman Jawa pada masa Jawa Timur juga berupaya untuk menghadirkan sebuah drama tari yaitu menampilkan wiracarita Panji. Tarian ini disebut juga raket yang merupakan tari pertunjuka ritual untuk kesuburan atau kemakmuran Negara. Sang raja sendiri yaitu Hayam Wuruk serta ayah sang raja yaitu Kertawardhana sering tampil pula dalam pertunjukan ini (Theodore G. Th. Pigeaud 1960-1963)
S.O Robson dalam disertasinya yang berjudul Wangbang Wideya : A Javanese Panji Romance (1971), mengutarakan bahwa raket merupakan bentuk lain dari gambuh. Penulis menduga keras bahwa disamping lahirnya tari raket, tari wayang wong pun tetap berkembang. Asumsi ini diperkuat dengan adanya kenyataan bahwa di Bali yang merupakan pelestarian budaya Jawa Timur, baik gambuh atau pun wayang wong masih tetap hidup. Pertujukan tari wayang wong dapat kita bandingkan dengan relief candi Panataran yang menampilkan wiracarita Ramayana, bisa diperkirakan penampilan wayang wong pada zaman Jawa Timur itu seperti pada penampilan yang tergores pada relief candi Panataran.
Ada dua jenis tari drama yang dipertujukan yaitu wayang wong yang membawakan wiracarita Ramayana dan parwa yang membawakan wiracarita Mahabrata. Mengenai kedua tari tersebut Beryl de Zoete dan Walter Spies (1973) yang pernah tinggal lama di Bali pada tahun 1930-an sering menyaksikan kedua bentuk seni pertunjukan itu menyatakan bahwa keduanya merupakan genre yang sama. Namun bedanya, wayang wong dipertujukan pada sore hari, sedangkan parwa pada malam hari menyusul pertunjukan wayang wong. Wayang wong akan mengetengahkan Rama sebagai sang pahlawan pada sore hari, dan parwa menampilkan Arjuna sebagai pahlawan pada malam hari.
Penciptaan wayang wong di Yogyakarta merupakan upaya untuk menghidupkan kembali pertunjukan wayang wong dari masa Majapahit. Kiblat Sultan Hemangku Buwana ke I Majapahit sangat beralasan, oleh karena sebagai raja yang baru dari kerajaan yang merupakan bagian dari kerajaan Mataram Surakarta, ia ingin tampil sebagai raja yang sah yang mewarisi tahta dari garis keturunan Majapahit. Dalam tradisi Jawa, seorang yang ingin menjadi raja bukan saja masih terbukti sebagai keturunan dari raja terdahulu, akan tetapi masih memiliki wahyu, berbagai benda pusaka, serta bisa menjaga keseimbangan dunia dengan melakukan hubungan spiritual dengan berbagai kekuatan alam.
Sudarsono (penulis) dalam disertasinya yang berjudul Wayang Wong : The State Ritual Dance Drama In The Court of Yogyakarta (1983) telah membuktikan bahwa pertujukan wayang wong di keraton Yogyakarta bukanlah sekedar pertunjukan akbar sebagai kebanggaan istana, akan tetapi memiliki makna yang lebih mendalam yaitu sebagai petujukan guna menambah legitimasi kehadiran raja di atas tahta. Tema-tema yang ditampilkan dalam lakon-lakon wayang wong selalu melambangkan kesuburan yang digambarkan lewat perkawinan atau perang antar dua keluarga yaitu Pandawa dan Korawa.
Ciri-ciri ritual dari pegelaran wayang wong adalah :
1.      Tempat pertujukan di Tragtag Bangsal Kencana menghadap ke timur.
2.      Pemilihan waktu pergelaran yang dimulai sejak jam enam pagi selalu mengikuti perhitungan kalender Jawa.
3.      Para penarinya adalah penarinya adalah penari terpiliih, bahkan penarinya laki-laki semua.
4.      Selain disediakan seperangkat sesaji juga terdapat doa-doa yang isinya mengharapkan kemakmuran Negara dan raja.
Pertujukan yang dimulai dari jam 6 memiliki makna, bahwa pertunjukan ini dipersembahkan juga kepada Dewa Matahari yang dalam pantheon Jawa adalah Dewa Surya. Hal ini berarti bahwa ketika sultan menyaksikan wayang wong, Sultan juga melakukan penghormatan kepada Dewa Surya. Mungkin pada saat itulah sultan melakukan meditasi untuk menyatu dengan Dewa Surya.
Penggunaan penari laki-laki semua dalam pagelaran wayang wong kemungkinan besar untuk menjaga jangan sampai pertjukan yang berlangsung selama dua jam sampai emapat hari empat malam itu tercemar, seandainya ada penari perempuan sekonyong-konyong dalam keadaan haid. Doa-doa keselamatan serta kemakmuran dapat dijumpai pada teks di akhir pertujukan yang disebut Serat Kandha.
3.      TARI BEDHAYA KETAWA
a.      Sejarah dan perkembangan tari bedhaya ketawa
Salah satu tari yang berkembang di cepuri istana dan mempunyai fungsi ritual adalah tari bedhay ketawang. Bedhaya berasal dari bahasa Sanskerta budh yang berarti pikiran atau budi. Dalam perkembangannya kemudian berubah menjadi bedhaya atau budaya. Penggunaan istilah tersebut dikarenakan tari bedhaya diciptakan melalui proses olah fikir dan olah rasa. Pendapat lain menyatakan bahwa bedhaya berarti penari kraton, sedangkan ketawang berarti langit atau angkasa. Jadi bedhaya ketawang berarti tarian langit yang menggambarkan gerak bintang-bintang, sehingga gerakan para penarinya sangat pelan. Tarian Bedhoyo Ketawang besar hanya dilakukan setiap 8 tahun sekali atau sewindu sekali sedangkan tarian bedhaya ketawang kecil dilakukan pada saat Penobatan Raja atau pernikahan salah satu anggota keraton yang ditambah simbol-simbol yang sesuai dengan maksud dan tujuan Bedhaya Ketawang dilakukan.
Tari Bedhaya Ketawang dipercaya merupakan reaktualisasi percintaan Kanjeng Ratu Kidul dengan Panembahan Senopati (raja pertama Dinasti Mataram Islam). Konon, tari ini diciptakan oleh Kanjeng Ratu Kidul bersama Panembahan Senopati. Setelah Panembahan Senopati mengikat janji dengan Kanjeng Ratu Kidul, ia meminta Kanjeng Ratu Kidul datang ke Kraton Mataram untuk mengajarkan tari Bedhaya Ketawang kepada penari-penari kesayangan Panembahan Senapati. Kanjeng Ratu Kidul menyanggupi permintaan tersebut dan setiap hari Anggara Kasih (Selasa Kliwon) ia hadir di Kraton Mataram untuk mengajarkan tarian tersebut. Selain itu busana dan tata rias penari Bedhaya Ketawang pun diyakini sebagai ciptaan Kanjeng Ratu Kidul.
Berdasarkan kepercayaan tersebut, maka ketika tari Bedhaya Ketawang hendak dipagelarkan harus meminta ijin kepada Kanjeng Ratu Kidul sebagai pemilik tari. Untuk itu dilaksanakan ritual caos dhahar, yang merupakan manifestasi suatu kebaktian dan usaha untuk berkomunikasi dengan roh halus atau dunia gaib. Caos dhahar dilaksanakan 5 kali, yaitu pertama menghadap ke selatan ditujukan kepada Kanjeng Ratu Kidul, lalu menghadap ke utara untuk Bathari Durga, menghadap ke barat untuk Kanjeng Ratu Sekar Kedhaton, dan terakhir kembali menghadap ke selatan untuk berpamitan kepada Kanjeng Ratu Kidul. Ritual tersebut dilakukan dengan harapan Kanjeng Ratu Kidul akan berkenan hadir dan turut terlibat baik dalam latihan maupun pagelaran yang akan dilaksanakan.
Keseluruhan penari yang berjumlah 9 orang dipercaya merupakan angka sakral yang melambangkan 9 arah mata angin. Hal ini sesuai dengan kepercayaan masyarakat Jawa pada peradaban Klasik, dimana terdapat 9 dewa yang menguasai sembilan arah mata angin yang disebut juga sebagai Nawasanga, yang terdiri dari: Wisnu (Utara), Sambu (Timur Laut), Iswara (Timur), Mahesora (Tenggara), Brahma (Selatan), Rudra (Barat Daya), Mahadewa (Barat), Sengkara (Barat Laut), dan Siwa (Tengah). Upaya mengejawantahkan 9 dewa penguasa arah mata angin dalam wujud 9 orang penari tersebut merupakan suatu simbol bahwa pada hakekatnya tari Bedhaya Ketawang bertujuan untuk menjaga keseimbangan alam yaitu keseimbangan antara mikrokosmos (jagat kecil) dan makrokosmos (jagat besar). Suatu konsep kosmologi yang telah mendarah daging pada masyarakat Jawa sejak berabad-abad silam.
Sebagai tarian yang sangat sacral, maka para penari Bedhaya Ketawang haruslah seorang gadis yang suci dan tidak sedang haid. Apabila sang penari sedang memperoleh haid, ia tetap diperbolehkan menari dengan meminta izin terlebih dahulu kepada Kanjeng Ratu Kidul. Untuk itu, harus dilakukan caos dhahar di Panggung Sanggabuwana, suatu bangunan yang digunakan sebagai tempat pertemuan Sunan dengan Kanjeng Ratu Kidul.
Selain suci lahiriah yang dimaknai dengan sedang tidak haid-nya seorang penari Bedhaya Ketawang, ia juga dituntut untuk suci secara batiniah. Hal ini dapat dicapai dengan menjalani puasa selama beberapa hari menjelang pagelaran. Dengan menjalani lelaku tersebut diharapkan para penari tersebut dapat membawakan tarian Bedhaya Ketawang dengan sebaik-baiknya. Hal ini dikarenakan ada suatu beban tersendiri pada para penari. Dipercaya bahwa dalam suatu pagelaran Bedhaya Ketawang, Kanjeng Ratu Kidul akan hadir bahkan ikut menari dan apabila ada penari yang kurang baik dalam menari maka ia akan dibawa Kanjeng Ratu Kidul ke Laut Selatan. Kepercayaan ini memberikan suatu motivasi tersendiri bagi para penari, bahwa mereka harus membawakan Bedhaya Ketawang dengan sesempurna mungkin supaya tidak dibawa ke Laut Selatan.
Sebagai penyempurna tampilan para penari, maka beberapa hari menjelang pagelaran, para penari harus mempersiapkan diri antara lain dengan meratus rambut serta kain, melulur tubuh, maupun perawatan tubuh lainnya supaya aura mereka dapat terpancar sempurna sehingga memperkuat aura kesakralan dari tari itu sendiri.
Sementara itu busana dan tata rias yang dikenakan penari dalam pagelaran tari Bedhaya Ketawang adalah layaknya pengantin putri Kraton Surakarta. Hal tersebut dikarenakan tari Bedhaya Ketawang merupakan reaktualisasi pernikahan Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul, sehingga busana yang dikenakan haruslah busana pengantin, yang lazim disebut sebagai Basahan. Busana tersebut meliputi kain dodot, samparan, serta sondher. Dodot merupakan kain yang memiliki ukuran 2 atau 2,5 kali kain panjang biasa, hingga panjang dodot bisa mencapai 3,75 hingga 4 meter. Pada masa lalu, kain ini hanya dikenakan oleh raja dan keluarga serta kaum ningrat untuk upacara tertentu, sepasang pengantin keraton, serta penari Bedhaya dan Serimpi.
Sebagaimana pengantin, maka dodot yang digunakan bermotif alas-alasan. Tarian ini memiliki dua penari utama, yaitu batak dan endhel ajeg yang dapat dibedakan dari warna dodot mereka. Meskipun memiliki motif yang sama yaitu alas-alasan, tetapi warnanya berbeda. Batak dan endhel ajeg mengenakan dodot alas-alasan berwarna hijau gelap yang disebut dodot gadung mlathi, sedangkan 7 penari lainnya mengenakan dodot alas-alasan berwarna biru gelap yang disebut dodot bangun tulak.
Pada hakikatnya penggunaan kain dodot dengan motif alas-alasan tersebut memiliki harapan yang baik sekaligus sebagai penolak bala. Hal ini sesuai dengan ornamen-ornamen yang digambarkan pada lembaran kain tersebut. Namun sebelum dodot dipakai, terlebih dahulu dikenakan samparan, yaitu kain panjang yang dikenakan sebagai pakaian dalam bagian bawah. Kain tersebut berukuran 2,5 kacu atau 2,5 kali lebar kain yang dikenakan dengan cara melilitkan kain dari kiri ke kanan. Sisa kain yang biasanya digunakan sebagai wiron diurai ke bawah, di antara kedua kaki mengarah ke belakang sehingga membentuk semacam ekor yang disebut seredan. Pemakaian kain jenis ini disebut samparan. Dalam suatu pagelaran, kain yang digunakan sebagai samparan adalah cindhe dengan motif Cakaran berwarna merah. Selanjutnya dikenakan sondher, yaitu kain panjang menyerupai selendang yang dikenakan untuk menari. Kain tersebut biasanya memiliki panjang 3 meter dan lebar 50 cm, yang disebut sampur atau udhet. Dalam suatu pagelaran, sondher yang dikenakan bermotif cindhe sekar warna merah, ujungnya berhias gombyok atau rumbai warna emas.
Dari uraian tersebut kita mengetahui bahwa para penari Bedhaya Ketawang mengenakan beberapa helai kain yang dalam teknik pemakaiannya tidak memakai proses jahit dan hanya dililitkan, diselipkan diantara lapisan-lapisan kain lainnya. Oleh karena itu, busana tersebut rentan untuk rusak tatanannya selama menari, baik karena terinjak atau karena sebab lain. Untuk mengantisipasi kemungkinan tersebut, maka selama menari terdapat dua orang abdi dalem yang bertugas mendampingi untuk membenahi busana para penari apabila busana tersebut rusak ketika sedang menari. Ada suatu keunikan disini, karena selama membetulkan busana tersebut, para penari tetap menari dan abdi dalem lah yang menyesuaikan dengan gerakan penari supaya sang penari tetap konsentrasi menari dengan baik karena sedang membawakan tari pusaka.
b. komposisi tari bedhaya ketawa
- keunikan gerak: Fakta yang sekarang dapat dijumpai antara lain: vokabuler gerak merupakan pengembangan dari vokabuler gerak pada tari bedhaya ketawang.jumlah penari penunjukkan kesamaan yaitu selalu berjumlah gasal,. Segala gerakannya melukiskan bujuk rayu dan cumbu birahi
- Busana yang dikenakan memakai busana dodot dan lain-lain. Penggunaan busana dodot ageng dan tata rias wajah dan tata rias rambut dan tata rias busana yang sama.
Layaknya pengantin putri Kraton Surakarta.  kain dodot, samparan, serta sondher. Dodot merupakan kain yang memiliki ukuran 2 atau 2,5 kali kain panjang biasa, hingga panjang dodot bisa mencapai 3,75 hingga 4 meter. Pada masa lalu, kain ini hanya dikenakan oleh raja dan keluarga serta kaum ningrat untuk upacara tertentu, sepasang pengantin keraton, serta penari Bedhaya dan Serimpi. memiliki dua penari utama, yaitu batak dan endhel ajeg yang dapat dibedakan dari warna dodot mereka. Meskipun memiliki motif yang sama yaitu alas-alasan, tetapi warnanya berbeda. Batak dan endhel ajeg mengenakan dodot alas-alasan berwarna hijau gelap yang disebut dodot gadung mlathi, sedangkan 7 penari lainnya mengenakan dodot alas-alasan berwarna biru gelap yang disebut dodot bangun tulak.
·         Ragam hias garuda
·         Ragam hias kura-kura
·         Ragam hias ular
·         Ragam hias burung
·         Ragam hias Meru
·         Ragam hias Pohon Hayat
·         Ragam hias Ayam Jantan
·         Ragam hias kijang
·         Ragam hias gajah
·         Ragam hias burung bangau
·         Ragam hias harimau
·         Ragam hias motif kawung
Namun sebelum dodot dipakai, terlebih dahulu dikenakan samparan, yaitu kain panjang yang dikenakan sebagai pakaian dalam bagian bawah. Kain tersebut berukuran 2,5 kacu atau 2,5 kali lebar kain yang dikenakan dengan cara melilitkan kain dari kiri ke kanan. Sisa kain yang biasanya digunakan sebagai wiron diurai ke bawah, di antara kedua kaki mengarah ke belakang sehingga membentuk semacam ekor yang disebut seredan. Selanjutnya dikenakan sondher, yaitu kain panjang menyerupai selendang yang dikenakan untuk menari.
- iringan tarian: ditemani oleh Musik Jawa Orkes yang disebut Gamelan. Gamelan ini dinamai Gamelan Kyai Kaduk Manis yang terdiri dari dari banyak instrumen musik seperti kendhang Ageng ( kendhang besar), Kendhang Ketipung, Kenong, dan kethuk
- pola lantai : pola lantai mengacu pada pola lantai yang ada pada Tari Bedhaya Ketawang. pola lantai seperti gawang montor mabur, gawang jejer wayang, gawang urut kacang, gawang kalajengking, gawangperang, dan gawang tiga-tiga. Bentuk sajian tari Bedhaya Ketawang terdiri dari tiga bagian, yaitu: maju beksan, beksan pokok, dan mundur beksan. Maju beksan dimulai dari penari berjalan kapang-kapang, yaitu berbari satu per satu dengan jarak kira-kira satu meter dari nDalem Prabasuyasa menuju Pendapa Sasana Sewaka kemudian membentuk gawang rakit montor mabur tepat di bawah lampu robyong besar. Jalan penari menuju pendapa harus menganankan raja (arah jarum jam), yaitu lewat sebelah kiri tempat duduk raja. Urutan masuk para penari sebagai berikut: endhel ajeg, batak, endhel weton, apit ngarep, apit mburi, gulu, apit meneng, dhadha, buncit. Kapang-kapang ini diiringi dengan suluk Pathetan Pelog Lima Ageng oleh kelompok vokall laki-laki dengan iringan beberapa instrumen gamelan be-rupa gender, gambang, rebab, dan suling. Setelah sampai di hadapan raja tepat di tengah-tengah Pendapa Sasana Sewaka membentuk gawang rakit montor mabur kemudian duduk bersila dan menyembah. formasi nawagraha, perbintangan kartika : 2 + 5 + 2. atas irama gamelan para penari melambangkan peredaran tata tertip kosmis azali yang teratur : kemudian bagaimana tata tertip tersebut menjadi kacau dan kemudian dipuluhkan lagi.
c. penjelasan ritual
Keseluruhan tata busana dan rias pengantin yang dikenakan oleh para penari Bedhaya Ketawang tersebut seolah mereaktualisasikan perjanjian antara Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul. Bahwasanya Kanjeng Ratu Kidul akan senantiasa menjaga dan melindungi Kerajaan Mataram, salah satunya dengan ia akan selalu memperbaharui pernikahannya dengan raja – raja Mataram. Oleh karena itu Sunan biasanya akan mengangkat salah satu penari Bedhaya Ketawang sebagai selirnya. Hal ini dilakukan untuk mereaktualisasikan pernikahannya dengan Kanjeng Ratu Kidul yang dipercaya selalu hadir setiap tari ini dibawakan. Kanjeng Ratu Kidul dipercaya akan masuk ke tubuh salah satu penari, yang kemudian diangkat sebagai selir oleh raja. Oleh karena itu para penarinya haruslah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Tari ini dipertunjukan pada saat prosesi upacara kematian suku Batak. Gerakan lengan dan tangan menjadi ragam gerak yang dominan dalam tari ini. Bentuk gerak tarinya seperti orang menyembah dan dipadukan dengan gerak ritmis dari kedua kaki yang diiringi lagu-lagu pujian.Gerakan tarian ini seirama dengan iringan musik (magondangi) yang dimainkan menggunakan alat-alat musik tradisional, seperti gondang, suling, terompet Batak, dll.
Awalnya, tarian ini dipraktekkan dalam acara ritual yang berhubungan dengan roh.Tarian ini dipraktekkan untuk memanggil roh dan memasukkannya ke patung-patung batu yang menjadi simbol leluhur.
4.      TARI MEMINTA HUJAN
Ketika musim penghujan tak kunjung turun dan tanah-tanah persawahan mulai mongering, warga desa mengadakan satu ritual yang dipercaya bisa menurunkan hujan. Berikut ada beberapa tarian yang dipercaya bisa menurunkan hujan, yaitu :
a.      Tarian Tiban
Tari Tiban merupakan tari rakyat yang sudah mengakar dan berkembang di masyarakat Tulungagung pada umumnya.Tarian ini dipergelarkan pada saat musim kemarau panjang, karena pada dasarnya tarian ini merupakan sarana untuk minta hujan. Pada saat yang telah ditentukan, mereka berkumpul disuatu tempat, mereka dibagi menjadi 2 kelompok, masing-masing dipimpin oleh 1 orang yang bertindak sebagai wasit permainan yang disebut landang/plandang. Dengan iringan musik tradisi yang terdiri dari kendang 1 buah, kentongan 1 buah dan gambang laras slendro 1 buah, satu persatu memasuki arena, mereka mulai mengadu keterampilan bahkan kesaktian. Sambil menari-nari dengan gaya khasnya, dalam waktu yang ditentukan penari silang menyambuk dengan hitungan yang sama. Adapun cambuk yang digunakan terbuat dari Lidi pohon enau/aren yang lazim disebut ujung.
Permainan terus berlanjut sampai sore hari, bagi yang merasa kalah akan digantikan oleh anggota kelompok berikutnya, tetesan darah jatuh ke tanah dikala lecutan lidi enau mengenai tubuh lawan.Tidak ada musuh sesudah acara permaianan selesai yang ada adalah kawan bukanlah lawan.Tarian tiban adalah sebuah permintaan permohonan kepada yang maha kuasa berharap untuk diturunkanya hujan.Ada makna dalam dibalik ritual tarian tiban yaitu sebuah harapan sebuah pesan yang luhur demi lestarinya alam. Bukanlah kekerasan yang ditonjolkan melainkan nilai-nilai luhur atau sebuah pesan untuk menjaga keseimbangan alam.
b.      Cowongan
Cowongan adalah salah satu jenis ritual atau upacara minta hujan yang dilakukan oleh masyarakat di daerah Banyumas dan sekitarnya. Menurut kepercayaan masyarakat Banyumas, permintaan datangnya hujan melalui cowongan, dilakukan dengan bantuan bidadari, Dewi Sri yang merupakan dewi padi, lambang kemakmuran dan kesejahteraan. Melalui doa-doa yang dilakukan penuh keyakinan, Dewi Sri akan datang melalui lengkung bianglala (pelangi) menuju ke bumi untuk menurunkan hujan. Datangnya hujan berarti datangnya rahmat Illahi yang menjadi sumber hidup bagi seluruh makhluk bumi, termasuk manusia.
Dilihat dari asal katanya, cowongan berasal dari kata “cowong” ditambah akhiran “an” yang dalam bahasa Jawa Banyumasan dapat disejajarkan dengan kata perong, cemong, atau therok yang diartikan berlepotan di bagian wajah (M. Koderi & Fadjar P. 1991:47). Perong, cemong, dan therok lebih bersifat pasif (tidak sengaja). Sedangkan cowongan lebih bersifat aktif (disengaja). Jadi cowongan dapat diartikan sesuatu yang dengan sengaja dilakukan seseorang untuk menghias wajah. Wajah yang dimaksud adalah wajah irus yang dihias sedemikian rupa agar menyerupai manusia (boneka). Salah satu daerah yang hingga saat ini masih melaksanakan ritual cowongan pada setiap kemarau panjang adalah masyarakat di Desa Plana, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas. Masyarakat di desa ini masih percaya, melalui ritual cowongan maka akan segera turun hujan yang sangat berguna agar sumur-sumur dan sumber mata air keluar lagi airnya, sawah dan ladang tidak lagi tandus, dan berbagai tanaman bersemi kembali bagi kelangsungan hidup mereka.
Cowongan dilaksanakan hanya pada saat terjadi kemarau panjang. Biasanya ritual ini dilaksanakan mulai pada akhir Mangsa Kapat (hitungan masa dalam kalender Jawa) atau sekitar bulan September. Pelaksanaannya pada tiap malam Jumat, dimulai pada malam Jumat Kliwon. Dalam tradisi masyarakat Banyumas, cowongan dilakukan dalam hitungan ganjil misalnya satu kali, tiga kali, lima kali atau tujuh kali. Apabila sekali dilaksanakan cowongan belum turun hujan maka dilaksanakan tiga kali. Jika dilaksanakan tiga kali belum turun hujan maka dilaksanakan sebanyak lima kali. Demikian seterusnya hingga turun hujan. Cowongan hingga saat ini masih dapat dijumpai di Desa Plana, Kecamatan Somagede.
Pelaksanaan cowongan terdapat 2 hal penting yaitu aktivitas seni dan bentuk ritual tradisional yang menjadi sarana komunikasi antara manusia dengan alam yang bertujuan untuk mendatangkan hujan. Disebut sebagai aktivitas seni karena didalamnya terdapat syair-syair yang tidak lain adalah doa-doa yang dilakukan dalam bentuk tembang, irus atau siwur yang menjadi properti upacara yang dihias menyerupai seorang putri. Doa-doa tersebut ditujukan kepada sang penguasa alam agar hujan segera turun. Disebut sebagai ritual tradisional karena di dalamnya terdapat sesaji-sesaji, properti-properti, rialat dan doa-doa yang kesemuanya ditujukan sebagai suatu permohonan kepada penguasa seluruh alam agar segera menurunkan hujan. Motivasi mereka untuk melakukan upacara tersebut karena manusia (masyarakat) menghormati adanya makhluk-makhluk halus yang telah membantu, memberi keselamatan dan kepuasan keagamaan.
5.      TARI KAYAU
Tari ini merupakan tari perang yang menceritakan kegagahan dan keterampilan kaum laki-laki suku Dayak, dalam menggunakan senjata khas sukunya, yaitu Mandau. Kayau berasal dari kata mengayou yang artinya memenggal kepala musuh, setiap kepala musuh yang berhasil dipenggal mereka bawa ke pameran “Damang” atau rakyat kampungnya.Tari Kayau adalah tarian yang biasanya dilakoni oleh dua orang peria dan satu orang wanita dengan menggunakan pakaian adat perang suku Kayaan Bahau.
Upacara mengayau ini adalah simbol tentang kekuasaan, keberanian, tanggung jawab sosial, nilai pendidikan dan penyadaran bahwa mengayau adalah kegiatan yang bersifat untuk melindungi diri bukan kegiatan yang negatif. Kayau atau mengayau memiliki arti memotong kepala musuh. Dalam masyarakat Kalimantan Tengah khususnya suku Dayak Iban melakukan kayau atau mengayau merupakan upacara adat yang dilakukan sebagai bentuk keberanian, kejantanan dan kekuasan dalam melindungi keberadaan suku tersebut dari musuh. Alat mengayau yang dilakukan dengan menggunakan senjata mandau, senjata tradisional suku dayak.Tidak semua orang bisa mengayau hal itu karena ada aturan siapa saja yang boleh mengayau.
Secara turun temurun upacara mengayau dengan tarian kayau ini diturunkan pertama kali oleh Urang Lindau Lendau Dibiau Takang Isang seorang yang gagah berani pada zamannya. Bagi mereka yang mendapatkan kepala musuh akan diberi gelar bujang berani. Saat ini tarian kayau sebagai bagian dari upacara mengayau yang mempersembahkan kepala orang digantikan oleh kepala babi.
Ada tiga tahap dalam upacara mengayau ini yaitu mengantar sesaji kepada bentang (rumah suku adat dayak), kedua, turun bentang yaitu melakukan pengayauan kepada kepala babi dan yang terakhir adalah memasuki rumah betang ditandai dengan bunyi-bunyi musik.
Dalam upacara ini peralatan yang ada adalah tombak, perisai, dan mandau. Selain itu, peralatan lain yang mendukug untuk upacara ini adalah gong besar dan kecil, dan sesaji. Begitu juga orang yang akan melakukan upacara mengayau ini harus mengikuti aturan salahsatunya pantangan yang harus dijalankan yaitu pengayau harus bersih hati, pengayau berada dalam kelompok dan tidak berpencar dan sesaji yang ada tidak boleh diambil atau dicuri.
6.      TARI TOR – TOR gambar tari tor tor batak sumatra utara





a.    Sejarah Tari Tor-tor
             Tari Tor-Tor (dan juga Gondang Sembilan) adalah kesenian yang berasal dari Mandailing, Sumatera Utara.Kata “Tor-Tor” berasal suara entakan kaki penari Tor-Tor diatas papan rumah adat Batak dan penari bergerak dengan iringan musik Gondang yang berirama mengentak yang dimainkan dengan instrumen tradisional seperti gondang, suling, terompet khas batak dan lain-lain.Tujuan tari Tor-Tor itu sendiri untuk upacara kematian, panen, penyembuhan dan pesta muda-mudi.
             Menurut sejarahnya, tor-tor sudah ada sejak abad ke 13 di Sumatera Utara.Nenek moyang orang Mandailing diperkirakan berasal dari suku Karen yang tinggal di perbatasan Burma dan Myanmar.Tari tor-tor digunakan dalam acara ritual yang berhubungan dengan roh.Di masa lalu, tari ini dilakukan oleh patung-patung batu yang telah dimasuki roh.Roh itu menggerakkan batu seperti menari namun dengan gerakan yang kaku.Gerakan tersebut meliputi gerakan kaki (jinjit-jinjit) dan gerakan tangan.
             Pesan dari ritual tersebut ada 3; yaitu takut dan taat pada Tuhan, ritual untuk leluhur dan orang-orang yang masih hidup agar dihormati, dan terakhir pesan untuk khalayak ramai yang hadir ke dalam acara.Makna tarian ini juga ada tiga yakni untuk ritual, penyemangat jiwa dan sarana untuk menghibur.
             Durasi Tari Tor-tor bervariasi, mulai dari tiga hingga sepuluh menit. Di tanah Batak, hal ini tergantung dari permintaan satu rombongan yang mau menyampaikan suatu hal ke rombongan lain. Dimintalah satu buah lagu pada pemusik.Jika maksud sudah tersampaikan, barulah tarian dihentikan.Meski demikian, sama seperti kebudayaan di dunia ini, Tari Tor-tor juga mengalami pengaruh dari luar yaitu India. Bahkan jika ditelusuri lebih jauh pengaruhnya bisa tercatat hingga ke Babilonia.
b.   Jenis-jenis Tari Tor-tor
Banyak jenis tor-tor yang digunakan etnis batak dalam setiap acara yang dilakukan.  Ada yang dinamakan tor-tor Pangurason (tari pembersihan). Tari ini biasanya digelar pada saat pesta besar  dimana terlebih dahulu tempat dan lokasi pesta dibersihkan sebelum pesta dimulai agar jauh dari mara bahaya dengan menggunakan jeruk purut. Ada juga tor-tor Sipitu Cawan (Tari tujuh cawan). Tari ini biasa digelar pada saat pengukuhan seorang raja. Tari ini juga berasal dari 7 putri kayangan yang mandi disebuah telaga di puncak gunung pusuk buhit bersamaan dengan datangnya piso sipitu sasarung (Pisau tujuh sarung). Kemudian ada tor-tor Tunggal Panaluan yang biasanya digelar apabila suatu desa dilanda musibah, maka tunggal panaluan ditarikan oleh para dukun untuk mendapat petunjuk mengatasi musibah tersebut. Ada lagi tor-tor sigale-gale yang dilakonkan sebuah patung kayu yang menggambarkan rasa cinta seorang raja terhadap anak tunggalnya yang meninggal akibat serangan penyakit yang tidak bisa disembuhkan.
c.    Gerakan dalam Tari Tor-tor
Tari Tor-tor termasuk sangat sederhana dalam hal gerakan.Para penari tor-tor cukup membuat gerakan tangan yang cukup terbatas dengan gerakan kaki jinjit-jinjit mengikuti iringan musik yang disebut sebagai magondangi yang terdiri dari alat-alat musik tradisional seperti gondang, suling, terompet batak, dan lain-lain.
Tarian tor-tor Batak ada empat gerakan dasar (urdot) yatu :
1.      Pangurdot (yang termasuk pangurdot dari organ-organ tubuh ialah daun kaki, tumit sampai bahu.
2.      Pangeal (yang termasuk pangeal dari organ tubuh adalah Pinggang, tulang punggung sampai daun bahu/ sasap).
3.      Pandenggal (yang masuk pandenggal adalah tangan, daun tangan sampai jari-jari tangan).
4.      Siangkupna (yang termasuk Siangkupna adalah leher,).

d.   Tata Busana Tari Tor-tor


http://indoparsada.blog.com/files/2012/03/ulos-240x300.jpgTata busana tari tor-tor termasuk sangat sederhana.Pria dan wanita yang ingin menarikan tari tor-tor cukup mengenakan baju biasa yang dikenakan saat pesta.Baju ini dilengkapi dengan aksesoris berupa tenunan khas batak yang bernama Ulos.Ulos yang digunakan ada dua jenis, yakni ulos yang berupa ikat kepala dan ulos yang berupa selendang. Motif selendang ulos yang digunakan tergantung dari pesat apa yang sedang digelar. Dengan properti busana yang sangat sederhana seperti ini membuat semua orang yang menghadiri suatu pesta dapat menari tor-tor bersama-sama.
e.    http://indoparsada.blog.com/files/2012/03/Gordang-Sambilan-Drums1.jpgTari Tor-tor dan Gondang
Didalam menari orang Batak mempergunakan alat musik / Gondang yaitu terdiri dari: Ogung sabangunan terdiri dari 4 ogung. Kalau kurang dari empat ogung maka dianggap tidak lengkap dan bukan Ogung sabangunan dan dianggap lebih lengkap lagi kalau ditambah dengan alat kelima yang dinakan Hesek.Kemudian Tagading terdiri dari 5 buah. Kemudian Sarune(sarunai harus memiliki 5 lobang diatas dan satu dibawah).
Peralatannya cukup sederhana namun kalau dimainkan oleh yang sudah berpengalaman sangat mampu menghipnotis pendengar.Menari juga dapat menunjukkan sebagai pengejawantahan isi hati saat menghadapi keluarga atau orang tua yang meninggal, tariannya akanberkat-kata dalam bahasa seni tari tentang dan bagaimana hubungan batin sipenari dengan orang yang meninggal tersebut. Juga Menari dipergunakan oleh kalangan muda mudi menyampai hasrat hatinya dalam bentuka tarian, sering tarian ini dilakukan pada saat bulan Purnama.
f.     Tari Tor-tor Masa Kini
             Saat ini  makna dan tujuan tor-tor semakin berkembang. Tor-tor sudah tidak lagi diasumsikan lekat dengan dunia roh. Tor-tor menjadi sebuah budaya dan seni yang sudah dikenal masyarakat dunia sebagai budaya tanah air.  Tor-tor yang dilakukan saat ini mencakup pesta adat perkawinan, pesta peresmian rumah parsattian, pesta tugu, pesta membentuk huta/perkampungan, bahkan kalangan pemuda menggelar "pesta naposo"sebagai ajang hiburan dan perkenalan (mencari jodoh). Pesta Naposo, di beberapa daerah disebut juga pesta rondang bulan (Samosir), pesta rondang bintang (Simalungun). 
















DAFTAR PUSTAKA
budayapurba.files.wordpress.com








BAB III
PENUTUP

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar